BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui
proses penetapan. (UU No.11 tahun 2010, pasal 1 ayat 1).
Kawasan cagar budaya, perkotaan atau dikenal juga
dengan urban heritage adalah kawasan yang pernah menjadi pusat-pusat dari sebuah
kompleksitas fungsi kegiatan ekonomi, social, budaya yang mengakumulasi makna kesejarahan (historical
significance). Kawasan tersebut memiliki kekayaan tipologi dan morfologi urban heritage
yang berupa historical site, historical distric dan historical cultural.
Perlunya melestarikan suatu kawasan cagar budaya
didasari oleh setidaknya tiga hal. Hal yang pertama adalah kawasan cagar budaya
adalah milik bersama; kawasan cagar budaya merefleksikan keunikan, konteks dari
suatu kawasan, kota, atau bahkan suatu negara, sehingga pelestarian cagar
budaya berarti menjaga barang publik (common good) yang dapat dipergunakan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan membangun rasa memiliki dalam
masyarakat.
Hal yang kedua adalah pelestarian kawasan cagar
budaya dapat membantu pemerintah dalam pengembangan ekonomi. Berdasarkan hal
yang terjadi di negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika, pelestarian cagar budaya tidak bisa
bergantung pada dana pemerintah saja, kekuatan sosial dan pasar berperan
penting dalam hal ini. Pada gilirannya, kawasan cagar budaya yang telah
dikelola dan dikonservasi dengan baik, akan dapat menghasilkan keuntungan yang
besar bagi negara.
Dan, sebagai salah satu perwujudan dari pembangunan berkelanjutan.
Pelestarian kawasan cagar budaya merupakan salah satu isu penting dalam
pembangunan berkelanjutan. Dengan melakukan pelestarian suatu cagar budaya, dan
menghidupkannya kembali dengan cara yang baru, merupakan salah satu bentuk realisasi
pembangunan berkelanjutan yang efektif.
Kemudian ditetapkan oleh Pemda DKI Jakarta daerah Situ
Babakan dan Situ Manggabolong sebagai perkampungan budaya betawi melalui Surat
Keputusan Gubernur No. 92 tahun 2000 yang diundangkan pada tanggal 28 Agustus
2000.
Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan juga mengalami perkembangan
sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi,
sosial-budaya, serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya
(Sobirin dalam Raldi 2001). Dengan kata lain perkembangan fisik kota Jakarta
juga diikuti oleh perkembangan nir fisik. Hal ini secara tidak langsung
berdampak pada semakin hilangnya budaya asli Kota Jakarta yang dalam hal ini
adalah Budaya Betawi.
Sudah seringkali Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta menggali
sejarah Budaya Betawi melalui pengembangan potensi budaya dan sejarah yang ada
seperti Condet, Marunda, Kampung Tugu dan sebagainya, upaya ini bertujuan untuk
menata embrio pengembangan budaya, membentuk identitas masyarakat Betawi. Namun
program-program ini tidak berjalan seperti apa yang diharapkan, yaitu sebagai
kawasan yang mencerminkan Budaya Betawi (Bachrudin, 2000). Upaya–upaya ini
terus dilanjutkan dengan berbagai cara melalui paradigma–paradigma yang berbeda,
pada saat sekarang ini konsep pemberdayaan masyarakat menjadi paradigma baru.
Dari visi yang bertumpu pada peranserta masyarakat ini dicoba kembali mengembangkan
Budaya Betawi yang didukung oleh suatu kawasan yang memiliki potensi alam dan
lingkungan.
Setu Babakan
Sistematika
Kajian Konservasi ini merupakan tugas dari Mata Kuliah Konservasi Arsitektur yang dibagi bahasannya menjadi lima BAB yaitu:
BAB I Pendahuluan membahas informasi secara umum mengenai objek konservasi
BAB II Kajian Literatur menghimpun informasi mengenai objek konservasi
BAB III Gambaran Kawasan menjelaskan objek konservasi secara tulisan dan visual
BAB IV Usulan Pelestarian menjelaskan ide dan gagasan serta saran yang dapat digunakan untuk mengembangkan objek konservasi
BAB V Kesimpulan dari bahasan studi konservasi arsitektur dan juga rangkuman dari BAB-BAB sebelumnya
Rumusan Masalah
Setu babakan sebagai pusat kebudayaan Betawi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Jakarta masih kurang optimal dalam pengembangan wisata berbasis lingkungan. Untuk itu dalam kajian konservasi arsitektur ini bertujuan untuk memberikan solusi saran perancangan untuk setu babakan secara arsitektur.
Rumusan Masalah
Setu babakan sebagai pusat kebudayaan Betawi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Jakarta masih kurang optimal dalam pengembangan wisata berbasis lingkungan. Untuk itu dalam kajian konservasi arsitektur ini bertujuan untuk memberikan solusi saran perancangan untuk setu babakan secara arsitektur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar