Jumat, 08 Februari 2013

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)


Bab : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Dewasa ini isu dampak lingkungan sudah mahfum menjadi konsekuensi sebuah perencanaan pembangunan. Berkaitan dengan ini telah dikembangkan Environmental Impact Analysis atau Analisis Dampak Lingkungan alias AMDAL.
Dalam suatu perencanaan fisik suatu dampak lingkungan adalah sesuatu yang sepatutnya sudah diperkirakan.

Pengertian AMDAL
Pengertian "dampak" atau impact berarti semua perubahan baik yang bersifat positif maupun negatif yang ditimbulkan oleh setiap usaha ataupun kegiatan alami.
Jadi “Dampak Lingkungan” dapat diartikan sebagai setiap perubahan baik yang menguntungkan maupun yang merugikan sifatnya sebagai akibat dari usaha perubahan dan pengembangan lingkungan hidup oleh manusia ataupun sebagai akibat dari kegiatan alami.

Parameter AMDAL
Seperti diketahui bahwa lingkungan merupakan suatu sistem dimana terdapat interaksi antara berbagai macam parameter lingkungan didalamnya.  Misalnya suatu penentuan lahan (zoning) untuk pembangunan perumahan dapat menyebabkan erosi tanah ditempat lain karena adanya dislokasi bebatuan atau dapat menyebabkan hilangnya tingkat kesuburan tanah akibat terkikisnya lapisan atas lahan tersebut.
Parameter atau atribut lingkungan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis :
-Parameter terperinci yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan keadaan lingkungan di mana setiap perubahan dari parameter ini akan merupakan indikator dari perubahan-perubahan dalam lingkungan yang bersangkutan.
-Parameter umum yaitu suatu tinjauan singkat atas parameter lingkungan yang secara umum dapat menggambarkan sifat dari dampak-dampak yang potensial terhadap lingkungan.
-Parameter controversial yaitu parameter lingkungan yang karena usaha-usaha pembangunan fisik mendapat dampak lingkungan tertentu atas dampak yang terjadi ini kemudian timbul suatu reaksi yang bertentangan dari masyarakat umum.
Parameter lingkungan yang harus dianalisis pada operasi AMDAL, meliputi :
A. Dampak lingkungan langsung :
Faktor fisis biologis :
        Udara
        Air
        Lahan
        Aspek ekologi hewan dan tumbuhan
        Suara
        SDA termasuk kebutuhan energi
Faktor Sosial Budaya
        Taat cara hidup
        pola kebutuhan psikologis
        sistem psikologis
        kebutuhan lingkungan sosial
        pola sosial budaya
Faktor Ekonomi
        Ekonomi regional dan ekonomi perkotaan
        Pendapatan dan pengeluaran sector public
        Konsumsi dan pendapatan perkapita 
B. Dampak lingkungan langsung :
- Perluasan pemanfaatan lahan
- Pengembangan kawasan terbangun
- Perubahan gaya hidup karena meningkatnya daya mobilitas masyarakat dll.
Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat dikemukakan bahwa “Analisis Dampak Lingkungan” adalah suatu studi tentang kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai karakteristik sosial ekonomi dan biologis dari suaut lingkungan yang mungkin disebabkan oleh suatu tindakan yang direncanakan maupun tindakan pembangunan yang telah dilaksanakan dan merupakan ancaman terhadap lingkungan.

Dokumen AMDAL terdiri dari : 

  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-AMDAL)
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
AMDAL digunakan untuk:
  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:
  • Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
  • Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
  • masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
  1. Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012
  2. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010
  3. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006
  4. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008


Sumber : http://digilib.gunadarma.ac.id/files/disk1/8/jbptgunadarma-gdl-course-2005-timpengaja-352-hukumpr-n.ppt 
http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_Mengenai_Dampak_Lingkungan

Kamis, 07 Februari 2013

Perencanaan Fisik Pembangunan


Bab : Perencanaan Fisik Pembangunan
Sub-Bab :
Skema Proses Perencanaan
Distribusi Tata Ruang Lingkup
Sistem Wilayah Pembangunan

Skema Proses Perencanaan


Kepala Bidang Fisik dan Prasarana
Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kepala Badan lingkup Fisik dan Prasarana, dalam melaksanakan tugasnya juga menyelenggarakan fungsi :
a.
Penyusunan kebijakan tehnis, program dan kegiatan perencanaan pembangunan tahunan bidangFisik dan Prasarana lingkup prasarana wilayah dan Tata Ruang serta Sumber Daya Alam
b.
Pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan bidang Fisik dan Prasarana lingkup prasarna wilayah dan Tata Ruang serta SDA
c.
Pembinaan dan pelaksanaan tugas perencanaan perencanaan pembangunan bidang Fisik dan Prasarana lingkup prasarna wilayah dan Tata Ruang serta Sumber Daya Alam.
d.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan lingkup tugasnya


Kepala Sub-Bidang Prasarana Wilayah
Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kabid Fisik dan Prasarana  dilingkup Prasarana Wilayah, dalam melaksanakan tugasnya, juga menyelenggarakan fungsi :
a.
Penyiapan dan penyusunan bahan kebijakan tehnis perencanaan pembangunan pada Sub Bidang Prasarana Wilayah dilingkup PUPerhubungan, Komunikasi dan Informatika
b.
Penyusunan anggaran pada Sub Bidang Prasarana Wilayah dan pengkoordinasian penyusunan anggaran lingkup PU, Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
c.
Penyiapan dan penyusunan dan pelaksanaan program dan kegiatan perencanaan pembangunan lingkup sub Bidang Prasarana Wilayah
d.
Pengendalian pemantauan dan evaluasi pelaksanaan  program dan kegiatan perencanaan pembangunan lingkup sub Bidang Prasarana Wilayah
e.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan lingkup tugasnya


Kepala Sub-Bidang Tata Ruang dan Sumber Daya Alam
Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kabid Fisik dan Prasarana  dilingkup Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, dalam melaksanakan tugasnya juga menyelenggarakan fungsi :
a.
Penyiapan dan penyusunan bahan kebijakan tehnis perencanaan pembangunan pada Sub BidangTata Ruang dan Sumber Daya Alam, lingkungan hidup
b.
Penyiapan dan penyusunan dan pelaksanaan program dan kegiatan perencanaan pembangunan lingkup sub Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, lingkungan hidup
c.
Pengendalian pemantauan dan evaluasi pelaksanaan  program dan kegiatan perencanaan pembangunan lingkup sub Bidang Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, lingkungan hidup
d.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan lingkup tugasnya

  
DISTRIBUSI TATA RUANG LINGKUP



Peran Perencanaan dalam 4 lingkup :

1. Lingkup Nasional

       Yang dibicarakan dalam lingkup nasional ini hanyalah, misalnya daerah atau kota yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dan studi kelayakan dalam skala yang luas. Jadi pemeilihan dan penentuan daerah untuk pembangunan perumahan tadi secara spesifik menjadi wewenang lagi dari pemerintaan tingkat lokal.
    Meskipun rencana pembangunan nasional tidak dapat secara langsung menjabarkan perencanan fisik dalam tingkat lokal tetapi sering kali bahwa program pembangunan tingkat nasional sangat mempengaruhi program pembangunan yang disusun oleh tingkat lokal. Sebagai contoh, ketidaksingkronan program pendanaan antara APBD dan APBN, yang sering mengakibatkan kepincangan pelaksanaan suatu program pembangunan fisik, misalnya; bongkar pasang untuk rehabilitasi jaringan utilitas kota.
  

2. Lingkup Regional

      Instansi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkatan regional di Indonesia adalah Pemda Tingkat I, disamping adanya dinas-dinas daerah maupun vertikal (kantor wilayah). Contoh; Dinas PU Propinsi, DLLAJR, Kanwil-kanwil. Sedang badan yang mengkoordinasikannya adalah Bappeda Tk. I di setiap  provInsi.
     Walaupun perencanaan ditingkat kota dan kabupaten konsisten sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah digariskan diatas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai kewenangan mengurus perencanaan wilayahnya sendiri
  

3. Lingkup Lokal 

Penanganan perencanaan pembangunan ditingkat local seperti Kodya atau kabupaten ini biasanya dibebankan pada dinas-dinas, contoh: Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Kesehatan, Dinas PDAM. Koordinasi perencanaan berdasarkan Kepres No.27 tahun 1980 dilakukan oleh BAPPEDA Tk.II. 
       Saat ini perlu diakui bahwa sering terjadi kesulitan koordinasi perencanaan. Masalah ini semakin dirasakan apabila menyangkut dinas-dinas eksekutif daerah dengan dinas-dinas vertikal. 
       Di Amerika dan Eropa sejak 20 tahun terakhir telah mengembangkan badan-badan khusus darai pemerintah kota untuk menangani program mota tertentu, seperti program peremajaan kota (urban renewal programmes). Badan otorita ini diberi wewenang khusus untuk menangani pengaturan kembali perencanaan fisik terperinci bagian-bagian kota. 


4. Lingkup Sektor Swasta

Lingkup kegiatan perencanaan oleh swasta di Indonesia semula memang hanya terbatas pada skalanya seperti pada perencanaan perumahan, jaringan utilitas, pusat perbelanjaan dll.

Dewasa ini lingkup skalanya sudah luas dan hampir tidak terbatas. Badan-badan usaha konsultan swasta yang menjamur adalah indikasi keterlibatan swasta yang makin meluas. Semakin luasnya lingkup swasta didasari pada berkembangnya tuntutan layanan yang semakin luas dan profesionalisme. Kewenangan pihak swasta yang semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri bagi Instansi pemerinta maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi tolok ukur bagi tiap-tiap kompetitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan/produk.

Pihak swasta terkecil adalah individu atau perorangan. Peran individu juga sangat berpengaruh terhadap pola perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Contoh apabila seseorang membuat rumah maka ia selayaknya membuat perencanaan fisik rumahnya dengan memenuhi peraturan yang berlaku. Taat pada peraturan bangunan, aturan zoning, perizinan (IMB) dan sebaginya. Kepentingannya dalam membangun harus singkron dengan kepentingan lingkungan disekitarnya, tataran lokal hingga pada tataran yang lebih luas.





Sumber : 
http://bappeda-inhil.info/index.php?option=com_content&view=article&id=60&Itemid=64
http://bappedapurwakarta.net
http://digilib.gunadarma.ac.id/files/disk1/8/jbptgunadarma-gdl-course-2005-timpengaja-352-hukumpr-n.ppt

Hukum Perburuhan


Bab : Hukum Perburuhan
Sub-bab :
UU No 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
UU No 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 12. (12/1948) Peraturan tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
bahwa  untuk  menjamin  pekerjaan  dan  penghidupan  yang  layak  bagi  buruh  perlu  diadakan aturan-aturan tentang pekerjaan buruh;
Mengingat:
pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN : Menetapkan peraturan sebagai berikut :

“UNDANG-UNDANG KERJA TAHUN 1948″.

BAGIAN I.
Tentang istilah-istilah dalam Undang-undang ini.

Pasal 1. (1)    Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan :
(a)Pekerjaan, ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah.
(b)Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
(c)Orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur diatas 14 tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun.
(d)Anak-anak, ialah orang laki-laki maupun perampuan, yang berumur 14 (empat belas)
tahun kebawah.
(e)Hari, ialah waktu sehari-semalam selama 24 jam.
(f)Siang-hari, ialah waktu antara jam 6 sampai jam 18.
(g)Malam-hari, ialah waktu antara jam 18 sampai jam 6.
(h)Seminggu, ialah waktu selama 7 hari.
(2)Dalam arti kata majikan termasuk juga kepala, pemimpin atau pengurus perusahaan, atau bagian perusahaan.
(3)Disamakan dengan  perusahaan ialah  segala  tempat pekerjaan, dari  Pemerintah maupun partikelir.

BAGIAN II.
Tentang pekerjaan anak-anak dan orang muda.

Pasal 2.
Anak-anak tidak moleh menjalankan pekerjaan.

Pasal 3.
Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang tertutup, dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan pekerjaan ditempat itu, kecuali jikalau ternyata itu sebaliknya.

Pasal 4.
(1)    Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari.
(2)    Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan orang muda pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
(3)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan buruh muda itu.

Pasal 5.
(1)       Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2)       Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku kepada  buruh muda yang berhubung dengan pekerjaannya kadangkadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.

Pasal 6.
(1)      Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan termaksud dalam ayat (1).

BAGIAN III.
Tentang pekerjaan orang wanita.

Pasal 7.
(1)Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2)Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
(3)Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.

Pasal 8.
(1)       Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam       tambang,   lobang   di   dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2)    Larangan  tersebut  dalam  ayat  (1)  tidak  berlaku  terhadap  kepada  orang  wanita,  yang berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.

Pasal 9.
(1)      Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.

BAGIAN IV.
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT

Pasal 10.
(1)    Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Jikalau  pekerjaan  dijalankan  pada  malam  hari  atau  berbahaya  bagi  kesehatan  atau
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2)Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5)Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja  dan  waktu  istirahat  untuk  pekerjaan-pekerjaan  atau  perusahaanperusahaan  yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.

Pasal 11.
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.

Pasal 12.
(1)       Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan           dalam  pasal  10  dan 11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu. Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan
buruh.
(2)    Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.

Pasal 13.
(1)    Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2)       Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3)       Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat  diperpanjang sampai  selama-lamanya tiga  bulan  jikalau  didalam suatu  keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4)       Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.

Pasal 14.
(1)       Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2)       Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.

Pasal 15.
(1)       Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2)    Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.

BAGIAN V.
TENTANG TEMPAT KERJA DAN PERUMAHAN BURUH.

Pasal 16.
(1)       Tempat  kerja  dan  perumahan  buruh  yang  disediakan  oleh  majikan  harus  memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
(2)       Dalam  Peraturan  Pemerintah  akan  diadakan  aturan-aturan  yang  lebih  lanjut  tentang syarat-syarat kesehatan yang dimaksudkan dalam ayat (1).
(3)       Pegawai-pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan.

BAGIAN VI. TENTANG TANGGUNG JAWAB.

Pasal 17.
(1)       Majikan  berwajib  menjaga  supaya  aturan-aturan  dalam  Undang-undang  ini  dan  dalam Peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini, demikian juga perintah-perintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan perburuhan termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2)       Kewajiban  termaksud  dalam  ayat  (1)  ada  juga  pada  pegawai-pegawai  majikan  yang mengawasi pekerjaan dan yang diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa aturan-aturan dan perintah-perintah termaksud dalam ayat (1) di-indahkan.

BAGIAN VII. ATURAN HUKUMAN.

Pasal 18.
(1)      Majikan dan pegawai yang mengawasi termaksud dalam pasal 17 yang tidak memenuhi kewajibannya, termaksud dalam pasal 17 ayat (1) dihukum dengan hukuman-kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiyah.
(2)       Jikalau pelanggaran itu terjadi didalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan hukuman  yang  tidak  dapat  dirubah  lagi,  karena  pelanggaran  yang  sama,  maka  dapat dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.
(3)    Hal-hal yang dapat dikenakan hukuman menurut pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.

Pasal 19.
(1)       Jikalau  majikan  suatu  badan  hukum,  maka  tuntutan  dan  hukuman dijalankan terhadap pengurus badan hukum itu.
(2)       Jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap kepada pengurus badan hukum yang mengurus.

BAGIAN VIII.
TENTANG MENGUSUT PELANGGARAN.

Pasal 20.
Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya, pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dan orang-orang lain yang menurut Undangundang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan   dalam   Undang-undang   ini   dan   dalam   peraturan-peraturan  Pemerintah   yang dikeluarkan berhubung dengan Undang-undang ini serta perintah-perintah termaksud dalam pasal 16 ayat (3) dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut pelanggaran.

BAGIAN IX. ATURAN TAMBAHAN.

Pasal 21.
(1)       Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini, demikian juga akan diatur berangsur-angsur berlakunya Undang-undang ini terhadap pekerjaan   atau   macam   pekerjaan   yang   tertentu   untuk   seluruh   atau   sebagian   dari aturan-aturan dalam Undangundang ini.
(2)      Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) dapat juga diadakan aturan-aturan peralihan.

Pasal 22.
Undang-undang ini disebut “Undang-undang Kerja tahun 1948″ biasa.
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum diperintahkan, supaya diumumkan secara
Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 20 April 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO.
Menteri Kehakiman,
Diumumkan
pada tanggal 15 April 1948.
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO.
SOESANTO TIRTOPRODJO.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1948
Pemerintah yang khusus ditunjuk dalam Undang-undang ini. Undang-undang yang khusus sudah barang tentu akan memuat aturan-aturan yang lebih lanjut yang mungkin berbeda dari aturan-aturan dalam Undang-undang yang umum ini. Maka dalam hal itu aturan yang khusus yang berlaku (lex specialis derogat generali).
Undang-undang pokok ini dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan (declaratoir) politik sosial negara kita yang mengenai pekerjaan buruh untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh, selaras dengan pasal 27, ayat (2) Undang-undang Dasar. Undang-undang ini akan merupakan pedoman buat masyarakat pada umumnya dan butuh dan majikan pada khususnya. Keadaan-keadaan dalam perburuhan yang hendak dilaksanakan oleh Undang-undang ini pada umumnya baru bagi buruh Indonesia. Beberapa aturan yang kelihatannya merugikan buruh, misalnya larangan pekerjaan anak, akan berakibat, bahwa anak tidak lagi dapat mencari nafkah sendiri untuk meringankan beban hidup orang tuanya. Mungkin sekali larangan pekerjaan anak akan menimbulkan salah faham diantara buruh yang terkena.
Bagi majikan Undang-undang ini membawa beberapa akibat, yang mengenai keuangannya dan peraturan kerja.
Maka pada permulaan perlu sekali diadakan penerangan kepada buruh dan majikan agar mereka insyaf akan maksud Undang-undang ini dan mudah menyesuaikan diri kepadanya.
Walaupun demikian, dalam masa peralihan mungkin masih timbul beberapa kesukaran dalam perburuhan dan perusahaan karena berlakunnya Undang-undang ini, misalnya dalam hal-hal buruh anak    harus    diganti    oleh    buruh   dewasa.   Kesukaran-kesukaran   itu    dapat dihindarkan. Kesukaran-kesurakan tidak menimbulkan keragu-raguan untuk mengadakan Undang-undang ini.
Hanya perlu diusahakan untuk mengurangi kesukaran-kesukaran itu. Untuk maksud ini diadakan pasal 21. Dalam peraturan Pemerintah, yang lebih lemas dan mudah dirubah dari pada Undang-undang, akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini. Demikian juga akan diatur dengan berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu, baik untuk seluruh, ataupun untuk sebagian dari aturan-aturan dalam Undang-undang ini. Selain dari pada itu menurut pasal 22 ayat (2) dapat diadakan aturan-aturan peralihan.
Selanjutnya Undang-undang ini akan dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, sehingga maksudnya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Undang-undang ini  bersifat  hukum  umum  (publiek  rechtelijk)  dengan  sangsi  hukuman karena :
Pertama           :           Aturan-aturan  yang  termuat  didalamnya  bukan  bermaksud  melindungi kepentingan seseorang saja, melainkan bersifat aturan masyarakat.
Kedua   :         Buruh Indonesia pada umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Berhubung dengan itu maka negaralah yang harus menjaga bahwa aturan-aturan dalam Undang-undang ini dijalankan. Dalam pada itu sangsi hukuman perlu diadakan. Dengan adanya ancaman   hukuman   ini,   akan   dicapai   pula   paksaan   rohani   dan   pengaruh   mendidik   dari Undang-undang ini terhadap yang berkepentingan.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL : Pasal 1.
Ayat (1)           Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh
untuk majikan dalam suatu hubungan  kerja  dengan  menerima  upah.  Maka  yang  penting
ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang “zakelijk”. Dalam arti kata upah
tidak  hanya  termaktub  upah  dengan  uang,  melainkan  juga  upah  dengan  barang  atau
perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya
tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini : pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar
sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang
untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang anak
untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan oleh
anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang dijalankan
oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada kebiasaan. Dalam
pasal ini diadakan 3 golongan orang.
Orang dewasa :yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
Orang muda : yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi kurang dari 18 tahun. Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang berkembang. Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh muda, untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang.
Anak        :     ialah  orang  laki-laki  maupun  perempuan,  yang  berumur  14  tahun  kebawah.
Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak. Keadaan badan
anak umumnya masih lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah
sampai umum 14 tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian
istimewa 2 atau 3 tahun sesudahnya keluar dari sekolah rendah. Dalam penetapan batas
umur dan larangan pekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa anak-anak kita umumnya sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah dengan 2 atau 3 tahun sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur 14 tahun ini ialah sama dengan yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai batas  umur  12  tahun  untuk  larangan  pekerjaan  anak.  Undang-undang  kerja  ini  dapat dikatakan amat maju dalam hal itu.
Ayat (2)           Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah, perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang berlakunya Undang-undang ini termaksud dalam pasal 17.
Ayat (3)    Perluasan    arti    perusahaan    dengan    sifat    umum    yang    dimaksudkan    dengan
Undang-undang ini.

Pasal 2.
Ayat (1)           Larangan pekerjaan anak  didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat. Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar. Maksudnya bersama-sama dengan larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.

Pasal 3.
anak.
Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan

Pasal 4, 5 dan 6.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang muda dengan melarang pekerjaan orang muda yang mudah merusak atau berbahaya bagi kesehatannya. Orang muda masih harus mengembangkan kemungkinan kemajuannya, jasmani dan rohani. Dalam pasal 4 ayat (2) dan (3) diatas hal-hal yang dapat dikecualikan dari larangan pekerjaan orang muda pada malam hari.

Pasal 7, 8 dan 9.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang wanita atas pertimbangan, bahwa wanita itu lemah badannya untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Dikecualikan dari larangan pekerjaan wanita pada malam hari, pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita, misalnya pekerjaan dalam rumah sakit.

Pasal 10.
Dalam pasal ini ditetapkan waktu kerja maximum dan waktu istirahat. Jikalau kita mengingat masa pembangunan negara yang kita hadapi, dan ternyata mempergunakan pekerjaan buruh dinegeri kita yang pada umumnya belum rasionil, maka penetapan waktu kerja dan istirahat tadi menggambarkan dengan cukup jelas maksud pemerintah untuk mempertinggi derajat penghidupan dan kecerdasan buruh.

Pasal 11.
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pada hari-hari raya yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan. Maksudnya : ialah, bahwa buruh sepatutnya mendapat kesempatan juga untuk merayakan hari raya itu.
Kekecualian  dalam  pasal  ini  mengenai  misalnya:  pekerjaan  dalam  perusahaan kereta-api, perusahaan pengangkutan lain, yang karena sifatnya harus berjalan terus.

Pasal 12.
Pasal ini merupakan kekecualian terhadap penetapan jam kerja, waktu istirahat dan hari libur dalam pasal 10 dan 11, yaitu mengatur hal-hal dimana buruh terpaksa bekerja terus untuk menghindarkan kekacauan atau gangguan dalam productie atau administrasi. Itupun masih dengan pembatasan waktu kerja sampai 54 jam seminggu. Pekerjaan itu memang berat, akan tetapi oleh karena tidak selalu dipergunakan dan biasanya hanya mengenai pekerjaan masa (seizoensarbeid) maka dalam prakteknya aturan ini tidak akan membawa akibat yang merugikan kesehatan buruh. Syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah misalnya yang mengenai cara kerja giliran; pembatasan lamanya waktu kerja masa dan lain sebagainya.

Pasal 13.
Pasal ini menjamin waktu istirahat bagi buruh wanita pada waktu haidh dan pada
waktu sebelum dan sesudahnya melahirkan anak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh wanita dan anaknya Pemerintah bermaksud akan menetapkan dalam Undang-undang lainnya, bahwa buruh wanita tadi selama waktu istirahat itu tetap menerima upahnya penuh.
Dalam aturan ayat (4) terkandung maksud Pemerintah untuk menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajibannya terhadap anaknya. Dipikirkan juga oleh Pemerintah  misalnya  kemungkinan  mengadakan  tempat  penitipan  dan  pemeliharaan anak-anak buruh wanita.

Pasal 14.
Pasal ini mengharuskan waktu istirahat tahunan selama dua minggu. Buruh kita seharusnya diberi kesempatan untuk beristirahat yang akan dipergunakan untuk menengok kaum keluarga atau untuk mengadakan perjalanan peninjauan dengan maksud untuk menyegarkan badan dan pikiran serta meluaskan pemandangan. Dalam hal ini dipikirkan kemung- kinan mengadakan tempat-tempat istirahat dan peninjauan bagi buruh. Aturan dalam ayat (2) antara lain ditujukan kepada buruh yang bekerja dikepulauan lain dari pada asalnya.

Pasal 15.
Ayat  (1)  dari  pasal  ini  menjamin  kesempatan  bagi  buruh  untuk  menjalankan
kewajiban menurut agamanya. Aturan dalam ayat (2) ini memberikan kesempatan bagi buruh untuk merayakan kemenangannya.

Pasal 16.
Pasal ini memuat aturan pangkal untuk aturan-aturan yang lebih khusus tentang tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan. Aturan-aturan selanjutnya yang khusus akan dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut ayat (3) pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perusahaan buruh yang disediakan oleh majikan.

Pasal 17.
Pasal ini menetapkan siapa yang bertanggung jawab, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini, dalam peraturan-peraturan dan perintah-perintah termaksud dalam pasal
16  ayat  (3)  di-indahkan.  Jikalau  majikan  memenuhi  kewajibannya,  niscaya  tidak  akan dijalankan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan itu.

Pasal 18.
Pasal ini memuat aturan-aturan hukuman. Hal-hal yang dikenakan hukuman menurut Undang-undang ini dianggap sebagai pelanggaran. Ancaman hukuman agak berat berhubung dengan pentingnya tujuan Undangundang ini dan terbelakangnya perburuhan dan buruh di negeri ini.

Pasal 19.
Pasal ini memberi peraturan tentang penuntutan dan penghukuman, jika majikan itu suatu badan hukum.

Pasal 20.
Menyebut   pegawai-pegawai   yang   khusus   diwajibkan   mengusut   pelanggaran aturan-aturan kerja dalam dan berhubung dengan Undang-undang ini.

Pasal 21.
Untuk menjamin supaya Undang-undang ini berlaku selekas-lekasnya dan untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan berhubung dengan keadaan sekarang, maka diadakan macam-macam kemungkinan tentang cara menetapkan berlakunya.
Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa Undang-undang ini berlaku berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu.
Peraturan    Pemerintah    dapat    juga    menetapkan,    bahwa    aturan-aturan    dalam
Undang-undang ini dapat berlaku sebagian atau seluruhnya.
Cara yang ketiga ialah mengadakan aturan-aturan peralihan untuk mempermudah berlakunya Undang-undang ini dengan mempersiapkan keadaan.
Dengan sendirinya usaha persiapan dan peralihan ini memerlukan kebijaksanaan yang sungguh-sungguh. Maka dari itu kewajiban  ini diserahkan kepada  Peraturan Pemerintah yang dengan  cara yang lebih “lemas”  dapat  mengatasi  kesulitan-kesulitan.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1964 TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :        bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang di samping tani harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko-guru masyarakat adil dan makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik,beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;

Mengingat:        1.    Pasal 5 ayat 1 serta pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar;
2.    Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 tahun 1964;
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

MEMUTUSKAN :

I.          Mencabut: “Regeling Ontslagrechtvoor bepaalde niet Europe se Arbeiders” (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II.         Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.

Pasal 1
(1)    Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)    Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a.    selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;
b.    selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.

Pasal 3
(1)        Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2)        Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4
Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5
(1)        Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2)        Permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.

Pasal 7
(1)        Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2)        Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3)        Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4)        Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.

Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.

Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan Swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.

Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapatmengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964.
PD. PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Dr. SUBANDRIO.
Diundangkan diJakarta
pada tanggal 23 September 1964.
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
LEMBARAN NEGARA TAHUN 1964 NOMOR 93
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No.12 TAHUN 1964 tentang PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
UMUM.

Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaum buruh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Berbagai jalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjau masak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hemat Pemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepat bagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.         Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalam beberapa hal dilarang.
2.         Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, maka dalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
3.         Bila jalan perundingan tidak berhasil mendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil ke muka dan campur-tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentuk campur-tangan ini adalah pengawasan preventif, yaitu untuk tiap-tiap pemutusan hubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.
4.         Berdasarkan pengalaman dalam menghadapimasalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasan preventif ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.
5.         Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.
6.         Disamping itu perlu dijelaskan bahwa bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat dari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyek yang lain.
7.    Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, efisiensi dan rasionalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Sekiranya disini dikemukakan, bahwa jumlah sepuluh termaksud pada pasal 3 ayat (2) hanya merupakan ancar-ancar; ukuran yang penting iyalah maksud/hasrat pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Dalam masa percobaan menurut hukum yang berlaku kedua pihak berwenang untuk memutuskan hubungan kerja seketika. Asas tersebut telah dipertahankan dalam Undang-undang ini.
Pasal 5
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 6
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 7
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 8
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 9
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehinggatidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Berdasarkan pasal 12 ini semua buruh (termasuk buruh contractor) dengan tidak menghiraukan apakah mereka buruh harian, bulanan) atau borongan (op stuikloon) dilindungi oleh Undang-undang ini. Yang dimaksudkan dengan perusahaan, iyalah perusahaan yang tidak berstatus perusahaan negara atau perusahaan daerah dan yang merupakan organisasi dari alat-alat produksi untuk menghasilkan barang-barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat.
Adapun mengenai pemutusan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan negara dan daerah, Pemerintah bermaksud mengadakan peraturan tersendiri.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Sumber :