Bab : Hukum Perburuhan
Sub-bab :
UU No 12 tahun 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
UU No 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 12. (12/1948) Peraturan tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
bahwa untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh perlu diadakan aturan-aturan tentang pekerjaan buruh;
Mengingat:
pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN : Menetapkan peraturan sebagai berikut :
“UNDANG-UNDANG KERJA TAHUN 1948″.
BAGIAN I.
Tentang istilah-istilah dalam Undang-undang ini.
Pasal 1. (1) Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan :
(a)Pekerjaan, ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah.
(b)Orang dewasa, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
(c)Orang muda, ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur diatas 14 tahun, akan tetapi dibawah 18 tahun.
(d)Anak-anak, ialah orang laki-laki maupun perampuan, yang berumur 14 (empat belas)
tahun kebawah.
(e)Hari, ialah waktu sehari-semalam selama 24 jam.
(f)Siang-hari, ialah waktu antara jam 6 sampai jam 18.
(g)Malam-hari, ialah waktu antara jam 18 sampai jam 6.
(h)Seminggu, ialah waktu selama 7 hari.
(2)Dalam arti kata majikan termasuk juga kepala, pemimpin atau pengurus perusahaan, atau bagian perusahaan.
(3)Disamakan dengan perusahaan ialah segala tempat pekerjaan, dari Pemerintah maupun partikelir.
BAGIAN II.
Tentang pekerjaan anak-anak dan orang muda.
Pasal 2.
Anak-anak tidak moleh menjalankan pekerjaan.
Pasal 3.
Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang tertutup, dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan pekerjaan ditempat itu, kecuali jikalau ternyata itu sebaliknya.
Pasal 4.
(1) Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari.
(2) Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan orang muda pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan buruh muda itu.
Pasal 5.
(1) Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2) Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku kepada buruh muda yang berhubung dengan pekerjaannya kadangkadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 6.
(1) Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan termaksud dalam ayat (1).
BAGIAN III.
Tentang pekerjaan orang wanita.
Pasal 7.
(1)Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita.
(2)Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
(3)Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syaratsyarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.
Pasal 8.
(1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah.
(2) Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap kepada orang wanita, yang berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal 9.
(1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.
BAGIAN IV.
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT
Pasal 10.
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu.
Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2)Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5)Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 11.
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.
Pasal 12.
(1) Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan dalam pasal 10 dan 11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu. Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan
buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 13.
(1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
Pasal 14.
(1) Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.
Pasal 15.
(1) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2) Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
BAGIAN V.
TENTANG TEMPAT KERJA DAN PERUMAHAN BURUH.
Pasal 16.
(1) Tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan diadakan aturan-aturan yang lebih lanjut tentang syarat-syarat kesehatan yang dimaksudkan dalam ayat (1).
(3) Pegawai-pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan.
BAGIAN VI. TENTANG TANGGUNG JAWAB.
Pasal 17.
(1) Majikan berwajib menjaga supaya aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam Peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan undang-undang ini, demikian juga perintah-perintah yang diberikan oleh pegawai-pegawai pengawasan perburuhan termaksud dalam pasal 16 ayat (5) di-indahkan.
(2) Kewajiban termaksud dalam ayat (1) ada juga pada pegawai-pegawai majikan yang mengawasi pekerjaan dan yang diserahi dengan tegas oleh majikan untuk menjaga, bahwa aturan-aturan dan perintah-perintah termaksud dalam ayat (1) di-indahkan.
BAGIAN VII. ATURAN HUKUMAN.
Pasal 18.
(1) Majikan dan pegawai yang mengawasi termaksud dalam pasal 17 yang tidak memenuhi kewajibannya, termaksud dalam pasal 17 ayat (1) dihukum dengan hukuman-kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiyah.
(2) Jikalau pelanggaran itu terjadi didalam waktu dua tahun semenjak yang melanggar dikenakan hukuman yang tidak dapat dirubah lagi, karena pelanggaran yang sama, maka dapat dijatuhkan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.
(3) Hal-hal yang dapat dikenakan hukuman menurut pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.
Pasal 19.
(1) Jikalau majikan suatu badan hukum, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap pengurus badan hukum itu.
(2) Jikalau pengurus badan hukum itu diserahkan kepada badan hukum lain, maka tuntutan dan hukuman dijalankan terhadap kepada pengurus badan hukum yang mengurus.
BAGIAN VIII.
TENTANG MENGUSUT PELANGGARAN.
Pasal 20.
Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya, pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dan orang-orang lain yang menurut Undangundang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan Undang-undang ini serta perintah-perintah termaksud dalam pasal 16 ayat (3) dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut pelanggaran.
BAGIAN IX. ATURAN TAMBAHAN.
Pasal 21.
(1) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini, demikian juga akan diatur berangsur-angsur berlakunya Undang-undang ini terhadap pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu untuk seluruh atau sebagian dari aturan-aturan dalam Undangundang ini.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) dapat juga diadakan aturan-aturan peralihan.
Pasal 22.
Undang-undang ini disebut “Undang-undang Kerja tahun 1948″ biasa.
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum diperintahkan, supaya diumumkan secara
Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 20 April 1948.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO.
Menteri Kehakiman,
Diumumkan
pada tanggal 15 April 1948.
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO.
SOESANTO TIRTOPRODJO.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1948
Pemerintah yang khusus ditunjuk dalam Undang-undang ini. Undang-undang yang khusus sudah barang tentu akan memuat aturan-aturan yang lebih lanjut yang mungkin berbeda dari aturan-aturan dalam Undang-undang yang umum ini. Maka dalam hal itu aturan yang khusus yang berlaku (lex specialis derogat generali).
Undang-undang pokok ini dimaksudkan pula sebagai suatu pernyataan (declaratoir) politik sosial negara kita yang mengenai pekerjaan buruh untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh, selaras dengan pasal 27, ayat (2) Undang-undang Dasar. Undang-undang ini akan merupakan pedoman buat masyarakat pada umumnya dan butuh dan majikan pada khususnya. Keadaan-keadaan dalam perburuhan yang hendak dilaksanakan oleh Undang-undang ini pada umumnya baru bagi buruh Indonesia. Beberapa aturan yang kelihatannya merugikan buruh, misalnya larangan pekerjaan anak, akan berakibat, bahwa anak tidak lagi dapat mencari nafkah sendiri untuk meringankan beban hidup orang tuanya. Mungkin sekali larangan pekerjaan anak akan menimbulkan salah faham diantara buruh yang terkena.
Bagi majikan Undang-undang ini membawa beberapa akibat, yang mengenai keuangannya dan peraturan kerja.
Maka pada permulaan perlu sekali diadakan penerangan kepada buruh dan majikan agar mereka insyaf akan maksud Undang-undang ini dan mudah menyesuaikan diri kepadanya.
Walaupun demikian, dalam masa peralihan mungkin masih timbul beberapa kesukaran dalam perburuhan dan perusahaan karena berlakunnya Undang-undang ini, misalnya dalam hal-hal buruh anak harus diganti oleh buruh dewasa. Kesukaran-kesukaran itu dapat dihindarkan. Kesukaran-kesurakan tidak menimbulkan keragu-raguan untuk mengadakan Undang-undang ini.
Hanya perlu diusahakan untuk mengurangi kesukaran-kesukaran itu. Untuk maksud ini diadakan pasal 21. Dalam peraturan Pemerintah, yang lebih lemas dan mudah dirubah dari pada Undang-undang, akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini. Demikian juga akan diatur dengan berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu, baik untuk seluruh, ataupun untuk sebagian dari aturan-aturan dalam Undang-undang ini. Selain dari pada itu menurut pasal 22 ayat (2) dapat diadakan aturan-aturan peralihan.
Selanjutnya Undang-undang ini akan dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, sehingga maksudnya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Undang-undang ini bersifat hukum umum (publiek rechtelijk) dengan sangsi hukuman karena :
Pertama : Aturan-aturan yang termuat didalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seseorang saja, melainkan bersifat aturan masyarakat.
Kedua : Buruh Indonesia pada umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.
Berhubung dengan itu maka negaralah yang harus menjaga bahwa aturan-aturan dalam Undang-undang ini dijalankan. Dalam pada itu sangsi hukuman perlu diadakan. Dengan adanya ancaman hukuman ini, akan dicapai pula paksaan rohani dan pengaruh mendidik dari Undang-undang ini terhadap yang berkepentingan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL : Pasal 1.
Ayat (1) Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh
untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Maka yang penting
ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang “zakelijk”. Dalam arti kata upah
tidak hanya termaktub upah dengan uang, melainkan juga upah dengan barang atau
perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya
tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini : pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar
sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang
untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang anak
untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan oleh
anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang dijalankan
oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada kebiasaan. Dalam
pasal ini diadakan 3 golongan orang.
Orang dewasa :yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun keatas.
Orang muda : yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi kurang dari 18 tahun. Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang berkembang. Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh muda, untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang.
Anak : ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 14 tahun kebawah.
Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak. Keadaan badan
anak umumnya masih lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah
sampai umum 14 tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian
istimewa 2 atau 3 tahun sesudahnya keluar dari sekolah rendah. Dalam penetapan batas
umur dan larangan pekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa anak-anak kita umumnya sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah dengan 2 atau 3 tahun sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur 14 tahun ini ialah sama dengan yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai batas umur 12 tahun untuk larangan pekerjaan anak. Undang-undang kerja ini dapat dikatakan amat maju dalam hal itu.
Ayat (2) Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah, perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang berlakunya Undang-undang ini termaksud dalam pasal 17.
Ayat (3) Perluasan arti perusahaan dengan sifat umum yang dimaksudkan dengan
Undang-undang ini.
Pasal 2.
Ayat (1) Larangan pekerjaan anak didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat. Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar. Maksudnya bersama-sama dengan larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.
Pasal 3.
anak.
Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan
Pasal 4, 5 dan 6.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang muda dengan melarang pekerjaan orang muda yang mudah merusak atau berbahaya bagi kesehatannya. Orang muda masih harus mengembangkan kemungkinan kemajuannya, jasmani dan rohani. Dalam pasal 4 ayat (2) dan (3) diatas hal-hal yang dapat dikecualikan dari larangan pekerjaan orang muda pada malam hari.
Pasal 7, 8 dan 9.
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang wanita atas pertimbangan, bahwa wanita itu lemah badannya untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Dikecualikan dari larangan pekerjaan wanita pada malam hari, pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita, misalnya pekerjaan dalam rumah sakit.
Pasal 10.
Dalam pasal ini ditetapkan waktu kerja maximum dan waktu istirahat. Jikalau kita mengingat masa pembangunan negara yang kita hadapi, dan ternyata mempergunakan pekerjaan buruh dinegeri kita yang pada umumnya belum rasionil, maka penetapan waktu kerja dan istirahat tadi menggambarkan dengan cukup jelas maksud pemerintah untuk mempertinggi derajat penghidupan dan kecerdasan buruh.
Pasal 11.
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pada hari-hari raya yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan. Maksudnya : ialah, bahwa buruh sepatutnya mendapat kesempatan juga untuk merayakan hari raya itu.
Kekecualian dalam pasal ini mengenai misalnya: pekerjaan dalam perusahaan kereta-api, perusahaan pengangkutan lain, yang karena sifatnya harus berjalan terus.
Pasal 12.
Pasal ini merupakan kekecualian terhadap penetapan jam kerja, waktu istirahat dan hari libur dalam pasal 10 dan 11, yaitu mengatur hal-hal dimana buruh terpaksa bekerja terus untuk menghindarkan kekacauan atau gangguan dalam productie atau administrasi. Itupun masih dengan pembatasan waktu kerja sampai 54 jam seminggu. Pekerjaan itu memang berat, akan tetapi oleh karena tidak selalu dipergunakan dan biasanya hanya mengenai pekerjaan masa (seizoensarbeid) maka dalam prakteknya aturan ini tidak akan membawa akibat yang merugikan kesehatan buruh. Syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah misalnya yang mengenai cara kerja giliran; pembatasan lamanya waktu kerja masa dan lain sebagainya.
Pasal 13.
Pasal ini menjamin waktu istirahat bagi buruh wanita pada waktu haidh dan pada
waktu sebelum dan sesudahnya melahirkan anak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh wanita dan anaknya Pemerintah bermaksud akan menetapkan dalam Undang-undang lainnya, bahwa buruh wanita tadi selama waktu istirahat itu tetap menerima upahnya penuh.
Dalam aturan ayat (4) terkandung maksud Pemerintah untuk menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajibannya terhadap anaknya. Dipikirkan juga oleh Pemerintah misalnya kemungkinan mengadakan tempat penitipan dan pemeliharaan anak-anak buruh wanita.
Pasal 14.
Pasal ini mengharuskan waktu istirahat tahunan selama dua minggu. Buruh kita seharusnya diberi kesempatan untuk beristirahat yang akan dipergunakan untuk menengok kaum keluarga atau untuk mengadakan perjalanan peninjauan dengan maksud untuk menyegarkan badan dan pikiran serta meluaskan pemandangan. Dalam hal ini dipikirkan kemung- kinan mengadakan tempat-tempat istirahat dan peninjauan bagi buruh. Aturan dalam ayat (2) antara lain ditujukan kepada buruh yang bekerja dikepulauan lain dari pada asalnya.
Pasal 15.
Ayat (1) dari pasal ini menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan
kewajiban menurut agamanya. Aturan dalam ayat (2) ini memberikan kesempatan bagi buruh untuk merayakan kemenangannya.
Pasal 16.
Pasal ini memuat aturan pangkal untuk aturan-aturan yang lebih khusus tentang tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan. Aturan-aturan selanjutnya yang khusus akan dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut ayat (3) pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perusahaan buruh yang disediakan oleh majikan.
Pasal 17.
Pasal ini menetapkan siapa yang bertanggung jawab, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini, dalam peraturan-peraturan dan perintah-perintah termaksud dalam pasal
16 ayat (3) di-indahkan. Jikalau majikan memenuhi kewajibannya, niscaya tidak akan dijalankan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan itu.
Pasal 18.
Pasal ini memuat aturan-aturan hukuman. Hal-hal yang dikenakan hukuman menurut Undang-undang ini dianggap sebagai pelanggaran. Ancaman hukuman agak berat berhubung dengan pentingnya tujuan Undangundang ini dan terbelakangnya perburuhan dan buruh di negeri ini.
Pasal 19.
Pasal ini memberi peraturan tentang penuntutan dan penghukuman, jika majikan itu suatu badan hukum.
Pasal 20.
Menyebut pegawai-pegawai yang khusus diwajibkan mengusut pelanggaran aturan-aturan kerja dalam dan berhubung dengan Undang-undang ini.
Pasal 21.
Untuk menjamin supaya Undang-undang ini berlaku selekas-lekasnya dan untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan berhubung dengan keadaan sekarang, maka diadakan macam-macam kemungkinan tentang cara menetapkan berlakunya.
Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa Undang-undang ini berlaku berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu.
Peraturan Pemerintah dapat juga menetapkan, bahwa aturan-aturan dalam
Undang-undang ini dapat berlaku sebagian atau seluruhnya.
Cara yang ketiga ialah mengadakan aturan-aturan peralihan untuk mempermudah berlakunya Undang-undang ini dengan mempersiapkan keadaan.
Dengan sendirinya usaha persiapan dan peralihan ini memerlukan kebijaksanaan yang sungguh-sungguh. Maka dari itu kewajiban ini diserahkan kepada Peraturan Pemerintah yang dengan cara yang lebih “lemas” dapat mengatasi kesulitan-kesulitan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1964 TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang di samping tani harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko-guru masyarakat adil dan makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik,beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat 1 serta pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar;
2. Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 tahun 1964;
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN :
I. Mencabut: “Regeling Ontslagrechtvoor bepaalde niet Europe se Arbeiders” (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan Swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapatmengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964.
PD. PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Dr. SUBANDRIO.
Diundangkan diJakarta
pada tanggal 23 September 1964.
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
LEMBARAN NEGARA TAHUN 1964 NOMOR 93
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No.12 TAHUN 1964 tentang PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.
UMUM.
Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaum buruh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Berbagai jalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjau masak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hemat Pemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepat bagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalam beberapa hal dilarang.
2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, maka dalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
3. Bila jalan perundingan tidak berhasil mendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil ke muka dan campur-tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentuk campur-tangan ini adalah pengawasan preventif, yaitu untuk tiap-tiap pemutusan hubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.
4. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapimasalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasan preventif ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.
5. Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.
6. Disamping itu perlu dijelaskan bahwa bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat dari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyek yang lain.
7. Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, efisiensi dan rasionalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Sekiranya disini dikemukakan, bahwa jumlah sepuluh termaksud pada pasal 3 ayat (2) hanya merupakan ancar-ancar; ukuran yang penting iyalah maksud/hasrat pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Dalam masa percobaan menurut hukum yang berlaku kedua pihak berwenang untuk memutuskan hubungan kerja seketika. Asas tersebut telah dipertahankan dalam Undang-undang ini.
Pasal 5
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 6
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 7
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 8
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 9
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehinggatidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Berdasarkan pasal 12 ini semua buruh (termasuk buruh contractor) dengan tidak menghiraukan apakah mereka buruh harian, bulanan) atau borongan (op stuikloon) dilindungi oleh Undang-undang ini. Yang dimaksudkan dengan perusahaan, iyalah perusahaan yang tidak berstatus perusahaan negara atau perusahaan daerah dan yang merupakan organisasi dari alat-alat produksi untuk menghasilkan barang-barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat.
Adapun mengenai pemutusan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan negara dan daerah, Pemerintah bermaksud mengadakan peraturan tersendiri.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Sumber :